Apoteker untuk tidak sembarangan memberikan atau menjual antibiotik
tanpa resep dokter, karena penggunaan antibiotika yang tidak tepat dapat
memicu terjadinya resistensi bakteri. Sebuah himbauan yang simpatik,
tetapi Penulis berpendapat bahwa masalah resistensi bakteri tidak hanya
melibatkan peran apoteker sebagai penyedia obat, tetapi juga ada dua
faktor utama yang lain, yaitu pola peresepan oleh dokter yang tidak
selalu tepat dan perilaku pasien sendiri yang salah dalam menggunakan
antibiotika. Tulisan kali ini lebih ditujukan kepada masyarakat luas
untuk lebih mengenali bakteri, obat-obat antibiotika dan cara
penggunaannya yang tepat, sehingga dapat turut mencegah terjadinya
risiko resistensi bakteri.
Apakah bakteri itu?
Bakteri adalah organisme yang sangat kecil dan berukuran mikron, yang
hanya dapat dilihat dengan mikroskop, sehingga disebut juga mikroorganisme.
Mikroorganisme sendiri ada bermacam-macam jenisnya, antara lain adalah
virus, jamur, parasit, termasuk bakteri. Bakteri dapat dijumpai di
hampir semua tempat, seperti tanah, air, udara, hidup bersama dengan
organisme lain (ber-simbiosis), bahkan dalam tubuh manusia. Sebagian
dari mereka bersifat merugikan dan dikenal sebagai penyebab infeksi dan
penyakit pada manusia, sedangkan sebagian lain ada yang bermanfaat
misalnya di bidang pangan, pengobatan dan industri. Bakteri yang
menyebabkan penyakit pada manusia, maupun pada hewan dan tumbuhan,
disebut bakteri patogen. Beberapa contoh bakteri patogen dan penyakit yang ditimbulkannya adalah seperti di bawah ini:
No. Nama bakteri Penyakit yang ditimbulkan1. Salmonella typhi : Tifus
2. Shigella dysenteriae : Disentri basiler
3. Vibrio cholera : Kolera
4. Haemophilus influenza : Influensa
5. Diplococcus pneumoniae : Pneumonia (radang paru-paru)
6. Mycobacterium tuberculosis : TBC paru-paru
7. Clostridium tetani : Tetanus
8. Neiseria meningitis : Meningitis (radang selaput otak)
9. Neiseria gonorrhoeae : Gonorrhaeae (kencing nanah)
10. Treponema pallidum : Sifilis atau Lues atau raja singa
11. Mycobacterium leprae : Lepra (kusta)
12. Treponema pertenue : Puru atau patek
Bakteri masih dapat terbagi lagi berdasarkan kemampuannya mengikat pewarna Gram, sehingga ada yang digolongkan sebagai bakteri Gram negatif dan Gram positif. Kemampuannya mengikat pewarna Gram ini ditentukan oleh perbedaan struktur dinding sel
bakteri. Perbedaan ini dapat menyebabkan perbedaan sensitivitas bakteri
terhadap jenis antibiotika golongan tertentu. Ada antibiotika yang
lebih poten terhadap bakteri Gram negatif daripada positif, atau
sebaliknya, atau bisa membunuh dua-duanya.
Antibiotika dan macamnya
1. Yang bekerja menghambat pembentukan dinding sel bakteri, contoh : golongan Penisilin dan Sefalosporin, misalnya amoksisilin, ampisilin, sefotaksim, sefiksim, seftriakson
2. Yang bekerja menghambat tanskripsi dan replikasi DNA bakteri, contoh: golongan kuinolon (siprofloksasin), rifampisin, aktinomisin
3. Yang bekerja menghambat sintesis protein bakteri, contohnya golongan makrolida (eritromisin, azitromisin), aminoglikosida, tetrasiklin, kloramfenikol, dll
4. mengantagonis asam folat yg diperlukan untuk pertumbuhan bakteri, contohnya : golongan sulfa
Dari sini dapat diketahui bahwa macam antibiotika itu cukup banyak,
dan masing-masing memiliki spesifikasi dan potensi terhadap jenis
bakteri tertentu. Ketika seorang pasien didiagnosa terkena infeksi
bakteri, maka dokter akan memilihkan antibotika yang sesuai dengan
kondisi pasien (jenis penyakit, macam bakteri penginfeksi, sensitivitas
kuman terhadap antibotika).
Mengapa bakteri bisa resisten/kebal terhadap antibiotika?
Yang dimaksud dengan resistensi bakteri adalah kondisi ketika suatu
strain bakteri menjadi resisten (kebal) terhadap antibiotik. Resistensi
ini berkembang secara alami melalui mutasi yang terjadi secara perlahan
dan acak dan juga bisa disebabkan oleh pemakaian obat antibiotik yang
tidak tepat sebagai adaptasi bakteri terhadap tekanan lingkungan.
Setelah gen resisten dihasilkan, bakteri kemudian dapat mentransfer
informasi genetik secara horisontal (antar individu) dengan pertukaran
plasmid. Mereka kemudian akan mewariskan sifat itu kepada keturunannya,
yang akan menjadi generasi resisten. Bakteri bisa memiliki beberapa gen
resistensi, sehingga disebut bakteri multiresisten atau “superbug”.
Resistensi antibiotik merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di
seluruh dunia. Resistensi bakteri memang seperti tidak terasakan secara
langsung akibatnya oleh pasien, namun baru akan terasakan dampaknya
ketika seseorang terinfeksi dan tidak sembuh-sembuh setelah diberi
antibiotika. Hal ini bisa terjadi jika pasien tersebut terinfeksi oleh
bakteri yang resisten antibiotik, sehingga pengobatannya menjadi lebih
sulit dan harus menggunakan obat yang lebih kuat dan lebih mahal dengan
lebih banyak efek samping. Jika kejadian ini terakumulasi dalam
sekelompok masyarakat, maka biaya kesehatan menjadi sangat meningkat.
Seperti apa penggunaan antibiotika yang tidak tepat?
Walaupun hubungan langsungnya tidak sangat jelas, tetapi banyak laporan
menunjukkan bahwa ada hubungan antara penggunaan antibiotika yang tidak
tepat dengan kejadian resistensi bakteri. Bakteri adalah organisme yang
memiliki daya adaptasi yang tinggi, sehingga resistensi terhadap
antibiotika bisa merupakan respon bakteri terhadap lingkungannya,
termasuk terhadap paparan antibiotika. Alih-alih terbunuh, sebagian dari
mereka justru berkembang menjadi kebal terhadap antibiotik tersebut.
Beberapa contoh penggunaan antibiotika yang tidak tepat dan memicu
resistensi antibiotik adalah :
1. Penggunaan antibiotik berlebihan
Antibiotika tidak bisa membunuh virus. Beberapa penyakit yang sering
kita jumpai seperti flu, batuk, diare, sebagian besar disebabkan oleh
virus. Namun seringkali dokter meresepkan atau juga pasien berinisiatif
untuk menggunakan antibiotik. Semestinya antibiotik hanya diperlukan
bila flu dan pilek sudah ditumpangi infeksi sekunder oleh bakteri, dan
itu dapat terlihat dari adanya tanda-tanda infeksi. Penggunaan yang
tidak tepat seperti ini bisa menyebabkan bakteri yang semula “lemah”
akan ber-evolusi menjadi bakteri yang “kuat” dan resisten.
2. Penggunaan antibiotik yang terputus/tidak habis
Sering terjadi pasien menghentikan penggunaan antibiotika jika sudah
merasa sembuh, padahal penggunaan antibiotika seharusnya dilakukan
sampai jangka waktu tertentu, misalnya 5 hari atau 7 hari. Antibiotik
harus habis diminum walaupun sudah merasa nyaman. Penggunaan yg tidak
habis akan membunuh bakteri yang sensitif saja, dan meninggalkan bakteri
yang masih “kuat’. Selanjutnya bakteri yang masih hidup menjadi
resisten/kebal dan berkembang biak, dan memerlukan antibiotik yang lebih
kuat (dan biasanya lebih mahal) ketika mengalami infeksi berikutnya.
Bagaimana seharusnya?
Mengetahui hal ini maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menekan kejadian resistensi bakteri:
1. Dokter sebaiknya lebih berhati-hati dalam meresepkan antibiotika,
jangan terlalu mudah meresepkan antibiotika untuk penyakit-penyakit yang
lebih banyak disebabkan oleh virus. Hal ini yang kemudian sering ditiru
oleh masyarakat, di mana ketika merasakan sakit yang diduga sama, dan
karena dulu pernah mendapatkan resep antibiotika, maka masyarakat
mencoba mengobati sendiri dengan antibiotika.
2. Tenaga kesehatan selain dokter seperti bidan, perawat, mantri,
juga semestinya tidak mudah memberikan antibiotika kepada pasien.
3. Apoteker lebih berhati-hati memberikan/menjual antibiotika. Jangan
memberikan/menjual antibiotika sembarangan tanpa resep dokter. Jangan
gantungkan rezeki Anda di sini, Insya Allah ada sumber lain yang lebih
bermaslahat bagi masyarakat. Jika menyiapkan resep antibiotika untuk
pasien, sebaiknya berikan edukasi secukupnya mengenai cara penggunaan
obatnya yang tepat, misalnya : harus habis, dll.
4. Masyarakat/pasien sebaiknya tidak mudah pula mengobati diri sendiri
dengan antibiotika. Karena penyakit yang nampaknya sama, belum tentu
demikian, sehingga sebaiknya mendapatkan diagnosa yang tepat dari
dokter. Apotek menjual antibiotika tanpa resep karena ada permintaan
pasien. Rangkaian proses ini perlu diputuskan. Jangan mudah apalagi
memaksa membeli antibiotik di Apotek tanpa resep dokter. Jangan
menggunakan antibiotik pada penyakit-penyakit ringan akibat virus
seperti flu, batuk, pilek, diare.
5. Dokter dan apoteker sebagai sesama tenaga kesehatan perlu
meningkatkan komunikasi yang lebih efektif terkait dengan penggunaan
antibiotika. Apoteker lebih memahami mengenai antibiotik dan
indikasinya, sementara dokter juga terbuka untuk diingatkan jika
meresepkan antibiotika secara kurang rasional.
Demikian, semoga bermanfaat….
Sumber: https://zulliesikawati.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar